Senin, 29 Juni 2015

Resume Pre-K2N UI

Standard
Halo, readers! Selamat menempuh ibadah puasa di hari ke-11 Ramadhan! :)

Beberapa bulan silam, saya memutuskan untuk menempuh perjalanan dan yang pasti petualangan baru dalam hidup saya yang sudah melewati 21 tahun di dunia yang fana ini. Keputusan itu adalah daftar K2N UI 2015! Ya, keputusan itu sudah saya timbang-timbang. Kalau lolos, syukur Alhamdulillah. Kalau ndak lolos, yasudah, berarti belum waktunya atau mungkin akan ada hal yang lebih penting lagi untuk di urus. Alhamdulillah, Allah memperkenankan saya untuk bertualang pada perjalanan baru di K2N UI 2015. :)

Jadi, saya ingin sekali me-resume kegiatan-kegiatan seleksi untuk menjadi peserta sah K2N UI 2015. Ya! K2N UI ini punya seleksi yang cukup ketat dan membutuhkan usaha serta ke-istiqamah-an (konsistensi) dari calon pesertanya untuk sah menjadi peserta.

1. Lolos Seleksi Berkas!

Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya bahwa seleksi K2N UI ini cukup panjang. Menurut pandangan saya, gerbang utama untuk menjadi peserta sah adalah lolos berkas. Apa syaratnya? Bisa dicek di web K2N UI. Ini penting dan harus disiapkan sebaik mungkin. Alhamdulillah, saya lolos berkas bersama 128 peserta lainnya. Banyak ya? ya! Tapi, tetap saja ada yang terseleksi di tahap ini. What's next?

2. Uji Konsistensi

Sebenarnya, tahap berikutnya adalah tahap pembekalan selama satu bulan. Pembekalan materi setiap hari Sabtu dan Minggu. Pembekalan ini masuk dalam penilaian dan salah satu pra-syarat lulus jadi peserta sahnya K2N UI 2015. Selain harus mengobarkan waktu weekend ini, calon peserta harus menulis materi di logbook harian dan masuk penilaian juga. Maka dari itu, saya menyebut tahap ini sebagai tahap Uji Konsistensi. Ya, tahap ini memang sangat penting karena memberikan materi-materi yang sekiranya sangat penting untuk turun di lapangan nanti dan sebagai bekal juga nantinya. Calon peserta, mulai berguguran dengan alasannya masing-masing. Berlakulah seleksi alam.

3. Bina Mental

Tahap terkahir, bina mental dan fisik! Tahap ini ibarat harga mati untuk lulus K2N UI. Puncak dari segala tahapan seleksi. Bina mental dan fisik ini dilaksanakan tanggal 12-16 Juni 2015 bertempat di Grup 3 Kopassus Cijantung. Lima hari kami, calon peserta ditempa untuk di beri nilai-nilai keberanian, kedisiplinan, nasionalisme, jiwa corsa (rasa solidaritas), dan keyakinan. Saya akan bercerita tentang 5 hari Bina Mental Fisik pada chapter khusus. :3

Btw, Alhamdulillah sudah pengumuman penempatan. Saya ditempatkan di Riau, bersama 41 peserta lainnya. FYI, peserta lolos K2N UI sejumlah 81 orang dari 129 calon peserta. Ya, untuk mengabdi pada masyarakat perlu kesungguhan dan keteguhan hati. Bersama Masyarakat Memberi Manfaat! Sampai Jumpa pada ceritera berikutnya. ;)

Spoiler Chapter Khusus Bintal K2N :3

Selasa, 09 Juni 2015

Aku, Asumsi, dan Kakek

Standard

Dua malam, Aku bertemu dengan seorang Kakek dengan tongkat yang selalu menemaninya…

Pertemuan pertama, Aku, Kakek, memiliki dunia yang berbeda.
Malam hari sekitar pukul setengah sepuluh di Terminal. Kini, sudah rutinitasku setiap hari Selasa dan Kamis. Aku mengajar di salah satu daerah, perbatasan antara Depok dan Jakarta Selatan. Rutinitasku menunggu angkutan umum yang datangnya se-abad karena Aku berada pada titik pemberhentian akhir. Aku selalu berada di waktu kritis, antara angkutan itu datang karena sopirnya ingin pulang, atau bahkan ada karena memang sudah keberuntunganku. Alhamdulillah, selama ini Aku selalu beruntung, meski harus jalan kaki beberapa meter. Ceritanya sih mau sambil ikhtiar, daripada harus berdiri mematung dalam gelapnya malam. Hal itulah yang menyebabkan Aku sampai di Terminal hingga pukul setengah sepuluh malam.

Disebuah terminal.
Angkutan umum dengan kapasitas maksimum 14 penumpang malam itu sedang sepi. Hanya ada seorang Kakek yang sudah menempati posisinya yang kulihat nyaman baginya di belakang supir. Kulihat dirinya bersandar pasrah, memangku tas punggung, dan sepasang tongkat yang disandarkan ke pembatas zona depan angkutan dengan zona belakang. Aku, seperti biasa. Di pojokan, mencari jendela, menikmati angin, dan bersandar. Kala itu, duniaku, duniamu. Aku, sibuk dengan handphone, meski beberapa kali melihat sekeliling, termasuk Kakek itu, dan berlalu begitu saja.

Pertemuan Kedua, Aku menyelam dalam pikiran tentang Kakek.
Tadi malam, kedua kalinya Aku bertemu dengan Kakek. Akan tetapi, suasana pertemuan yang kedua sangat jauh berbeda dengan yang pertama. Aku, tiba terlebih dahulu daripada kakek. Kondisi angkutan sudah cukup penuh. Posisi pojok belakang supir sudah ada yang menempati, dan pojok-pojok juga sudah ada yang menempati. Aku, duduk diapit oleh 3 orang di sebelah kiriku dan 2 orang di sebelah kananku. Tinggalah posisi duduk untuk dua orang di dekat pintu, di belakang kursi zona depan angkutan. Sekitar pukul sembilan malam, seorang Kakek datang. Ternyata, Kakek yang pernah kulihat sebelumnya.

Kakek datang, masuk angkutan dengan cukup sulit upayanya untuk duduk dan cukup ribet dengan sepasang tongkat yang di pegangnya.

Eh, takut jatoh itu. Ntar kalo jatoh, tanggung jawab lu”, seru tukang parkir terminal.
Ki, naik yang di belakang aja.
Udah , gapapa. Jalan aja jalan. Nih, masih ada satu, biar saya yang di tepi.”, kata Kakek
Udah gapapa bang. Kita Cuma mau numpang kok.”, sahut dua pengamen muda.
Udah jalan aja. Nggak jatoh nggak, kan pegangan ini nih. Coba saya yang di tepi, kan lebih enak. Bisa. Kalo nggak bisa, nggak mungkin saya bisa sampai sini.”, kata Kakek dan mulai menggeser badannya menjauhi tepi pintu angkutan dengan cukup sulit.
Mbak, mbak, tukeran aja mbak”, seruku kepada mbak-mbak yang duduk di belakang supir, tempat duduk Kakek ketika saya melihat pertama kali. Namun, tak ada respon. Entah suara saya yang terlalu kecil, atau lembut, atau halus :p atau si mbak-mbak yang tidak dengar atau apatis (eh?). Saya, ge-re-ge-tan. Akhirnya angkutan melaju dengan keadaan penuh penumpang.
Kayak nggak biasa aja, Baru ketemu ya? Saya mau baca dulu.”, sahut Kakek.

Kemudian, kakek yang sudah memangku tas punggungnya dan menggantungkan tongkatnya di lengan, mengeluarkan buku agenda berwarna hitam dengan tulisan “excecutive agenda” di covernya. Lalu, kakek dengan kacamatanya memegang pulpen serta menggenggam handphone. Sesekali Kakek menjepit handphone dengan mulutnya, kemudian menulis. Aku, tidak tahu. Apakah Kakek itu sedang membaca atau menulis sesuatu hal. Yang pasti, menulis di dalam angkot itu sulit sekali karena Aku pernah melakukan hal itu.

Bang, kiri bang.”, sahut penumpang.

Beberapa penumpang turun, termasuk dua pengamen yang tadi menumpang. Namun, kursi pojok belakang supir masih ditempati seorang penumpang. Kakek mulai kesulitan mengendalikan pegangan tongkatnya. Namun, ia berhasil.

Kiri bang.”, sahut lagi penumpang. Kali ini, banyak penumpang turun, termasuk dua orang di sampingku. Pojok belakang supir pun, kosong. 

Nah, pindah tuh Ki ke belakang”, sahut supir.
Apa? Ki? Kayak nggak pernah ketemu aja. Pung. Hahaha..”, seru Kakek yang sambil memundurkan badannya ke tempat nyamannya. Sekarang, sudah berada tepat di sampingku.

Aku, masih memegang dan membaca buku kecilku yang berwarna hijau, memangku tas punggung, dan handphone. Tidak ingin menoleh ke arah Kakek. Tapi, yang Aku tahu, Kakek masih sibuk menulis, melihat handphone, dan menulis lagi. Kemudian, sesekali aku menoleh, melihat tulisan Kakek. Kemudian, Aku bingung, Aku berpikir. Tahukah apa tulisannya? Satu kata yang dapat Aku baca dan ingat, “esia” dan beberapa kata yang lain.

Aku ingin bertanya, tapi Aku ragu. Asumsiku adalah Kakek sedang belajar menulis. Kakek menuliskan setiap kata yang ada di handphonenya. Lebih tepatnya, message di inboxnya. Ya, sekali lagi, itu asumsi karena Aku tidak bertanya. Asumsi itu berputar-putar di pikiranku.

Kalau menurut KBBI, asumsi adalah dugaan yang diterima sebagai dasar, landasan berpikir karena diangggap benar. Cohen (2000) mengatakan bahwa asumsi adalah kepercayaan, gagasan, dugaan, atau pemikiran yang dimiliki oleh seseorang, sekelompok orang, atau para ahli internal atau eksternal mengenai suatu subjek. 

Ibarat penelitian, maka asumsi yang muncul merupakan hipotesis penelitian. Hipotesis muncul dari serangkaian hasil observasi dan harus diteliti untuk mengetahui apakah hipotesis itu benar atau tidak. Ya, asumsi saya muncul dari hasil observasi, pengamatan yang saya lihat. Namun, memang asumsi tidak selamanya benar atau valid, hanya apa yang kita yakini. Langkah strateginya adalah bertanya, maka tidak akan tersesat ke dalam pemikiran diri sendiri. Sperti mengupas bawang, asumsi berada pada layer bawang paling luar. Kita harus menggali sumber hingga inti, baru bisa temukan jawaban atas kebenaran asumsi. Masalahnya adalah, “malu bertanya, sesat di jalan”.

Semoga saja Aku dipertemukan dengan Kakek lagi. Sehingga Aku bisa menguji dan mempertanyakan asumsiku, benar ataukah salah. Jika benar, maka Aku dapat melakukan sesuatu hal untuknya. Jika salah, artinya aku harus belajar untuk sampai tahap action, bukan hanya berputar pada pemikiran yang dapat menyesatkan. Itulah caring, bukan kepo. :)


Sumber:
Cohen, WA. (2000). A Class with Drucker. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama 


8 Juni 2015
 Ruang Rutinitas