Minggu, 24 April 2016

Rosalinda Delin: Perempuan Peretas Batas

Standard
“…dan kami yakin seyakin-yakinnya bahwa air mata kami, yang kini nampaknya mengalir sia-sia itu, akan ikut menumbuhkan benih yang akan mekar menjadi bunga-bunga yang akan menyehatkan generasi-generasi mendatang.”
Surat R.A Kartini kepada Ny. Abendanon, 15 Juli 1902 dikutip dari Majalah Tempo edisi khusus Hari Kartini.

Selamat hari Kartini 2016! Selamat berjumpa dengan tulisan saya kembali setelah beberapa bulan vakum karena segala urusan yang berbau skripsi. :3

Ada yang menarik hati sehingga saya ingin sekali membuat tulisan tentang perempuan peretas batas yang sempat saya baca ulasannya dari majalah Tempo edisi khusus Hari Kartini. Ada satu sosok perempuan yang menarik untuk saya ulas kembali pada tulisan ini dan memberikan saya inspirasi juga sekaligus menggugah hati untuk terus bermanfaat kepada masyarakat. Entah bagaimana bisa terjadi, jika dianalogikan, hati ini rasanya mendidih seperti air yang direbus dalam suhu 100C.

Dalam perspektif keperawatan, setiap indvidu merupakan makhluk yang unik sehingga tidak dapat disama-ratakan. Namun, setiap individu pasti memiliki energi. Ada teori yang mengatakan bahwa energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, tetapi dapat dirubah bentuknya menjadi energi lainnya. Inilah yang membuat energi setiap individu berbeda. Ada yang mengalihkan energi untuk hal-hal positif, adapula yang mengalihkannya ke dalam hal-hal negatif.

Rosalinda Delin adalah salah satu perempuan dengan energi positif yang luar biasa untuk melayani masyarakat. Beliau adalah bidan desa di Belu, Nusa Tenggara Timur. Kiprahnya sangat besar dalam upaya meningkatkan kesehatan ibu dan anak. Kegigihan beliau mampu merubah budaya maladaptif (bersifat merusak) yang telah mengakar dalam masyarakat Belu menjadi budaya yang adaptif.

Tradisi Hasai Hai, tradisi yang menjadi tantangan bagi Rosalinda Delin untuk memerangi kematian ibu dan anak. Tradisi ini merupakan tradisi pengasapan bagi ibu yang baru melahirkan dan bayi baru lahir selama 42 hari. Ibu dan bayi dipanaskan dengan tiduran di atas balai yang dibawahnya menyala kayu bakar, seperti dipanggang. Tradisi ini dilakukan setiap setelah mandi pagi dan sore hari. Tujuan masyarakat melakukan tradisi ini adalah untuk membuat ibu dan bayi mendapat kehangatan. Namun, secara ilmiah, tradisi ini justru mengakibatkan ibu dan bayi mengalami gangguan pernapasan dan dehidrasi akibat pengasapan. Tradisi inilah yang menjadi tantangan bagi Rosalinda Delin sebagai bidan desa, tenaga kesehatan yang melayani masyarakatnya dengan sepenuh hati.

Hal yang menarik adalah strategi beliau dalam merubah tradisi Hasai Hai menjadi tradisi yang adaptif tanpa mengurangi tujuan masyarakat melakukan Hasai Hai. Untuk memberikan pemahaman akan bahayanya tradisi Hasai Hai, Rosalinda Delin menunjukkan simulasi sederhana bagaimana pengasapan ibu dan bayi dapat menimbulkan efek dehidrasi. Beliau menggunakan ikan dan arang untuk menggambarkan kondisi ibu dan bayi yang sedang di ‘panggang’ dalam tradisi Hasai Hai. Tidak hanya menunjukkan bahwa tradisi tersebut berbahaya, namun beliau mengusulkan untuk memberikan selimut kepada ibu dan bayi untuk memberikan kehangatan. Cara-cara kreatif itulah yang membuat masyarakat mulai sadar bahwa tradisi pengasapan dapat memperburuk kesehatan ibu dan bayi. Kini, budaya Hasai Hai mulai terkikis secara perlahan.

Tradisi Hasai Hai
Sumber gambar: BBC Indonesia

Menurut Landrine & Klonoff (2004), budaya merupakan  salah satu faktor yang sangat memengaruhi perilaku sehat individu. Oleh karenanya, budaya dapat menjadi senjata yang ampuh untuk meningkatkan kesehatan masyarakat namun juga berlaku sebagai boomerang bagi kesehatan. Hasai Hai bukan merupakan satu-satunya tradisi maladaptif yang ada di Indonesia. Masih banyak sekali tradisi-tradisi lainnya, mengingat bahwa Indonesia merupakan negara multikultural, memiliki ribuan suku bangsa. Oleh karena itu, tradisi yang maladaptif di masyarakat tidak hanya menjadi tantangan bagi Rosalinda Delin, namun juga bagi setiap tenaga kesehatan di seluruh pelosok tanah air. 

Pelajaran lainnya adalah karakter yang dimiliki beliau. Sebagai tenaga kesehatan, melayani kesehatan di masyarakat dengan sepenuh hati adalah suatu kewajiban. Beliau tidak membutuhkan sebuah penghargaan atau pengakuan dari orang lain sehingga apa yang dilakukannya atas dasar keikhlasan. Selain itu, beliau bahkan pernah memiliki pengalaman beradu cepat dengan dukun beranak untuk sampai di rumah ibu yang akan bersalin. Dengan segala keterbatasan yang dihadapi, kegigihan dan keberaniannya patut dijadikan potret Kartini masa kini. Menurut saya, tidak hanya bagi bidan desa saja, namun juga seluruh tenaga kesehatan termasuk perawat, dokter, apoteker, dan lainnya perlu meneladani karakter beliau.


Sekali lagi, Selamat Hari Kartini, perempuan Indonesia! :)

Sumber rujukan:


Landrine, H., & Klonoff, E. A. (2004). Culture Change and Ethnic-Minority Health Behavior: An Operant Theory of Acculturation. Journal of Behavioral Medicine, Vol. 27, No. 6, 527-555


Majalah Tempo edisi Khusus Hari Kartini