Jumat, 08 Desember 2017

Keputusan 180 Derajat

Standard
http://www.gambar-katakata.com/gambar-islami-lucu/

Bismillahirrahmanirrahimi..

Pada akhirnya saya memutuskan untuk membuat tulisan tentang keputusan menimba ilmu di sebuah pesantren. Kalau pakai bahasa legislatif, saya telah menimbang, memutuskan untuk menjadi seorang santri pascakampus. Setelah lulus profesi, kalau “lurus” dalam dunia karir, mungkin pilihan berikutnya antara bekerja sebagai perawat atau tenaga kesehatan profesional di sebuah instansi, atau melanjutkan kuliah lagi. Pokoknya seputar lanjut kerja atau meraih pendidikan lebih tinggi lagi.

Keputusan menjadi seorang santri setelah lulus sarjana adalah keputusan 180 derajat dalam hidup. Opsi ini muncul ketika saya duduk di semester delapan karena dipicu oleh suatu alasan. Alasan yang sayapun tidak memahami bagaimana prosesnya itu bisa saja hadir dalam pikiran dan terpatri dalam hati. Can we call it as Hidayah? Surely, I’m not sure. Maybe yes. And I feel blessed of that.

Kalau dalam dunia perdebatan, istilahnya banyak yang pro dan kontra. Heran juga ya, yang mau nyantri siapa, yang banyak komentar siapa. But I called it as sign of loveliness. Bukti banyak yang perhatian. Hehe.. Alhamdulillah untuk ke-sekian kalinya, Mama dan Bapak justru mendukung. Sisanya, beragam pendapat bermunculan, baik dari kerabat dekat, teman dekat, atau yang mungkin saya aja bahkan nggak kenal dengan ybs. Apa saja pendapatnya?

Mak pojur be’en ende monduk (Kok beruntung kamu mau mondok).”

Mak gik monduk mon la a sarjana? (Kok masih mondok kalau udah sarjana?).”

“Jangan lama-lama. Emang nggak mau lanjut S2?.”

“Kamu nggak mau kerja?”

“Emang kamu bakal betah di pondok?”

Dst...

Alhamdulillah Allah ciptakan bibir untuk bisa memberikan senyuman dalam menghadapi berbagai pendapat itu. Hehe.. :D

Pada akhirnya, meski hati sedikit goyah, tapi qadarullah dan pada akhirnya saya sudah merasakan jadi santri selama sebulan. Apa rasanya? Nano-nano. Ada asamnya, ada manisnya, ada pahitnya. Pokoknya segala macam rasa. Kok cuma sebulan? Iya, saya masuk pondok tanggal 25 Oktober dan dapat libur Maulid Nabi selama sepuluh hari terhitung dari tanggal 29 November 2017 – 8 Desember 2017. Jadi, besok saya akan kembali lagi. Ulala~

Pertanyaan berikutnya yang teramat sering ditanyakan sepulang dari pondok yang sebulan itu.

“Kamu betah?”

Jangankan sebelum pulang, baru tiga hari di pondok aja udah di tanya, “Betah?” oleh ustadzah di pondok. Dalam hati ingin bilang, “Ustadzah, ini masih tiga hari, saya butuh yang namanya proses adaptasi.”. :’D Teman-teman di pondok yang bahkan udah mondok 3 bulan, setahun, bahkan dua tahun aja masih bilang belum betah. Wkwkwk.

Perkara betah atau nggak betah, akhirnya saya jawab, “InsyaAllah.”. Maknanya, ya dengan izin Allah saya mudah-mudahan bisa betah. Karena sesungguhnya ada sisi yang membuat saya nyaman dan tidak nyaman. Nyaman karena banyak ilmu yang bisa didapat, insyaAllah. Sepanjang waktu rasanya dominan untuk ibadah, jauh dari handphone, karena saya merasa sudah terkena sindrom adiksi terhadap penggunaan HP yang tidak pada tempat dan waktunya. Jadi, ibaratnya kalau di rumah, if you have so much time, you have many options to do, whether to check your gadget (handphone or laptop) or read some books or novels. Kalau di pondok, you don't have that kind of choice. Pilihannya cuma baca Al-Qur’an, baca kitab pelajaran, tidur, atau ngobrol sama teman karena di Pondok tidak diperbolehkan membawa HP dan buku bacaan selain pelajaran. Opsi dua terakhir ini kurang cocok sama saya. Jadi itulah mengapa saya justru merasa nyaman dengan dibuat kondisi yang seperti itu.

Aspek ketidaknyamanannya menyangkut kebutuhan dasar manusia, seperti mandi, makan, tidur. Sebenarnya bukan tidak nyaman sih, tetapi karena faktor pembanding saat kenyamanan di rumah. Kalau tidak dibandingkan, it’s okay. Those condition thought me how to live a humble life. Semua tentang hidup dengan sederhana. Hidup dengan menerima apa yang ada. Di saat kamu cuma dapat nasi sepiring tanpa lauk, ya Alhamdulillah. Di saat kamu cuma dapat lauknya aja tanpa nasi, ya Alhamdulillah. Saat kamu kehilangan sabun, ya Alhamdulillah juga. Mau kesal juga percuma, ya kan? Kalau pikiran lagi sehat, obatnya dengan kalimat, “Emang sabun punyamu? Kamu punya apa di dunia ini? Orang semuanya pinjaman dari Allah, ya kan?”. Terima kasih kepada ustadz YM, karena ceramahnya yang dapat memberikan pandangan pada saya, bahwa sejatinya manusia itu hanya meminjam. Terima kasih kepada ustadz Adi yang juga menambahkan pandangan itu, kalau kita diberikan kelebihan, orientasikan bagaimana barang/sesuatu itu dapat menjadi ladang pahala bagi kita.

Tentang pertemanan juga. Alhamdulillahnya meskipun badan saya agak mungil wkwk, tapi berdasarkan teori tumbuh kembang sih katanya udah dewasa. Haha.. Jadi, ya cukup bisa menilai mana yang patut dan tidak untuk ditiru. Kadang suka kasihan sama yang udah di suruh mondok sejak kecil. Saya bingung sih sebenarnya, apakah itu termasuk beruntung karena sudah dipahamkan tentang agama sejak kecil atau nggak. Karena mereka masih teramat sangat belia sekali, usia TK sudah di pondok. Antara salut atau kasihan. Ini cuma pendapat dan ini hal yang amat sangat debatable, menurut saya. Tapi belum berani kasih pendapat tegas karena belum banyak baca dan merenungi riset-riset atau literatur ilmiah mengenai usia belia di pondok pesantren dari segi tumbuh kembang, sosial, dsb. Seems like interesting, right? Karena kalau punya anak nanti, jadi bisa buat bahan pertimbangan seandainya ingin menempatkan anak di pondok pesantren, sebaiknya pada usia berapa sih idealnya untuk bisa mondok? Sebenarnya itu pertanyaan pribadi, wkwkkw. Yang punya pendapat, boleh banget lho. Hehe.. Very pleased to discuss.

Oke, kayaknya udah kepanjangan. Pada kesimpulannya, saya memutuskan menuntut ilmu agama supaya lebih paham lagi karena masih merasa bodoh dan merasa butuh itu. Ternyata setelah selama sebulan ini, memang benar masih bodoh dan sangat dibutuhkan ilmunya, terbukti banyak yang belum saya ketahui. Innalillahi, Astaghfirullah, wa Alhamdulillah. Hehe.. kayaknya ini tergolong terlambat. Late is better than never, right? Mengutip nasihat dari Imam Asy-Syafi'i, bahwa "Hakikat seorang pemuda adalah ilmu dan taqwa". Doa'kan semoga saya diteguhkan hatinya, dan semoga Allah meneguhkan hati pembaca dalam iman dan taqwa. Aamiin.

 Sekian, semoga berfaedah. Wassalam..